Translate

Kamis, 31 Desember 2009

KRISIS ENERGI LISTRIK DI INDONESIA

Sebuah fenomena baru yang terjadi di Indonesia adalah masalah krisis energi listrik. Hampir menyeluruh di berbagai wilayah bahkan di wilayah Jawa dan Bali yang memiliki konsumen terbesar dan sebelumnya tidak terdengar adanya masalah serius dalam produksi, kini mulai tersentuh dengan apa yang menjadi momok bagi customer yaitu pemadaman bergilir. Mungkin jika alasan pemadaman bergilir selama beberapa jam dan rentang waktu antara pemadaman relatif panjang dalam rangka pemeliharaan jaringan rutin, customer tidak mempermasalahkan. Namun akhir-akhir ini intensitas pemadaman semakin kerap dan sangat mengganggu terutama bagi customer yang menggantungkan energi listrik dalam proses produksi di perusahaan dalam kapasitas besar.
Pada umumnya produksi listrik di Indonesia dihasilkan dengan menggunakan tenaga air (PLTA), tenaga Diesel (PLTD), dan tenaga uap (PLTU). Dalam pengembangannya seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi sebagian kecil wilayah (terutama di daerah pedalaman) memanfaatkan tenaga matahari sebagai pembangkit (Solar Cell), akan tetapi hal ini belum bisa memecahkan masalah krisis energi listrik di Indonesia. Energi alternatif yang sedang dilirik oleh pemerintah Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), walaupun tantangannya sangat berat dan merupakan dilema mengingat bahaya yang ditimbulkan apabila terjadi kecerobohan sangat besar. Radiasi yang dihasilkan oleh nuklir dapat mengakibatkan bencana bagi umat manusia. Masih teringat dalam fikiran kita peristiwa Cernobil di Rusia (dulu masih Uni Sovyet) dengan bocornya reaktor nuklir yang tidak sedikit memakan korban dan terjadinya kerusakan lingkungan yang cukup besar.
Ada berbagai hal yang menyebabkan terjadinya krisis energi listrik di Indonesia. Sudah dapat dipastikan penyebab utama adalah meningkatnya permintaan yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi listrik oleh PLN. Meningkatnya permintaan dikarenakan adanya pertumbuhan penduduk, industrialisasi seiring dengan iklim investasi yang semakin kondusif dan adanya revolusi teknologi yang dominan mengandalkan energi listrik sebagai sumber energi, seperti contoh adalah merambahnya komputer, televisi, dan berbagai peralatan rumah tangga yang cenderung menggunakan energi listrik dalam pengoperasianya. Permintaan tersebut bergerak secara eksponensial. Sedangkan produksi listrik masih bersifat konvensional serta terhambat dengan masalah sumber penggerak generator seperti terjadinya penurunan debit air di beberapa PLTA, kemudian krisis energi penggerak dari sumber yang tidak dapat diperbaharui seperti bahan bakar minyak dan batu bara.

KRISIS MANAJEMEN PT PLN
Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam tubuh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sekarang ini?. Analisis ini berdasarkan asumsi-asumsi yang mengacu pada fakta-fakta di lapangan. Menurut hukum ekonomi bahwa jika permintaan (demand) meningkat sedangkan jumlah produksi tetap maka harga akan naik. Bagi sebuah perusahaan maka sudah sewajarnya jika mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya produksi sekecil mungkin. Sepertinya hal ini tidak berlaku di Perusahaan Listrik Negara (PLN) dikarenakan dalam penetapan tarif tidak mengacu mekanisme pasar. Adanya regulasi yang mengatur tarif dasar listrik (TDL) berpeluang menimbulkan masalah manajemen dalam pengelolaan keuangan perusahaan itu sendiri. Apalagi jika adanya intervensi sebagai akibat konflik kepentingan dalam konstelasi politik. Kondisi paling rawan dalam penetapan TDL adalah ketika berdasarkan audit dan analisis keuangan perusahaan mengharuskan TDL naik, sementara pada saat yang bersamaan mendekati pemilihan presiden atau pemilihan legislatif. Kecenderungan keputusan yang diambil oleh pemerintah adalah memberikan subsidi yang pada akhirnya harus menghambur-hamburkan cadangan devisa untuk kemakmuran pengusaha.
Fleksibilitas dalam penetapan TDL sebenarnya harus diterapkan, atau pemerintah secepatnya harus dapat memecahkan formula yang lebih akurat dalam penetapan tarif dasar listrik tanpa adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan baik dari produsen maupun konsumen atau bahkan segera memgambil keputusan pencarian dan penggunaan sumber energi penggerak alternatif yang lebih efisien dengan mengerahkan ilmuwan dan teknisi yang sekarang lebih senang berebut menjadi PNS atau sekedar menjadi operator alat-alat yang dibeli secara instan dengan gaji menggiurkan. Beberapa negara di Eropah telah menggunakan tenaga kincir angin sebagai penggerak generator, mengapa tidak mengadopsi teknologi yang ramah lingkungan tersebut? Jika memang tidak memungkinkan karena perbedaan faktor pendukung (non financial), mengapa tidak di teliti penggunaan tenaga kerbau, sapi, atau kuda? kedengarannya memang menggelikan, tetapi sebenarnya bukan hal yang mustahil untuk diujicobakan (jika memang belum diteliti).
PLN rugi, pelanggan rugi, siapa yang di caci?. Permasalahan energi listrik mencuat secara tajam ketika harga BBM melonjak melampau ambang batas psikologis. Terjadi pembengkakan biaya operasional pembangkit di hampir seluruh wilayah Indonesia yang sebagian besar menggunakan PLTD. Data kuantitatif memang tidak disajikan, akan tetapi secara kualitatif dapat digambarkan bahwa kondisi tersebut dengan serta merta akan melibatkan pemerintah mengambil keputusan dalam mengendalikan defisit keuangan PT PLN yang tidak memiliki daya upaya mengendalikan TDL. Subsidi dalam trliunan rupiahpun terpaksa di gelontorkan sambil menanti bergainning politik antara eksekutif dan legislatif yang cukup alot dan lama dalam penetapan TDL baru. Setelah itu, apakah masalah telah terpecahkan? Kurang lebih tiga tahun berlalu sejak terjadi kenaikan TDL terakhir pada tahun 2007, apakah keuangan PT PLN semakin sehat atau semakin terpuruk?. Indikator realitas lapangan dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya mismanajemen dalam PT PLN antara lain : 1. Terjadinya pemadaman bergilir dengan intensitas relatif tinggi. 2. Daftar tunggu pasang baru yang relatif sangat lama terutama di daerah dengan pembangkit PLTD (sampai lima tahun) 3. Pencurian strum yang dilegalkan 4. Adanya oknum PLN yang melakukan bisnis diluar kontrol PLN dan masih banyak kemungkinan lain terjadi yang tidak terpantau terutama manajemen dalam tubuh PLN sendiri.
Terjadinya pemadaman bergilir.
Dalam beberapa bulan terakhir (akhir 2009), berbagai televisi nasional menyajikan berita di beberapa wilayah terjadi pemadaman bergilir hingga terjadi demonstrasi memprotes pemadaman bergilir yang dilakukan PT PLN. Sebelumnya juga Presiden secara tidak langsung menyindir kinerja PT PLN karena melakukan pemadaman bergilir. Berita yang lain adalah adanya keluhan kalangan pengusaha/investor yang merasa dirugikan karena pemadaman yang dilakukan PT PLN. Apakah ini suatu kebetulan atau kewajaran?, atau memang ada skenario lain dalam manajemen PT PLN?.
Jika dianalisa secara cermat, opsi pemadaman listrik akan diambil jika ternyata dapat menghemat biaya operasional yang relatif besar dibanding dengan marjin yang diperoleh dari penjualan produk yang pada kenyataannya sangat tipis, apalagi di beberapa wilayah terjadi defisit, sehingga harus terjadi subsidi silang antar wilayah. Sedangkan alasan lain dari pemadaman listrik dikarenakan adanya produksi yang tidak dapat mensuplai semua wilayah, yang tidak masuk akal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Celakanya , jika ini benar dilakukan oleh PT PLN dalam rangka melakukan penghematan, maka jelas konsumen nyata sangat dirugikan apalagi pelanggan di daerah penyangga (biasanya daerah terpencil) yang harus tanggung resiko pemadaman setiap saat tanpa adanya pemberitahuan, yang terkadang mati dua jam, nyala 20 menit. Kerugian yang ditanggung konsumen : 1. Biaya beban yang harus dibayar sama dengan konsumen lain yang tidak terkena dampak pemadaman, 2. Rentan terjadinya kerusakan barang-barang elektronik, 3. Bagi pengusaha adanya hambatan proses produksi terutama dari usaha yang menggunakan mesin-mesin produksi yang mengandalkan energi listrik, contoh sederhananya mesin photo copy, mesin percetakan, dan lain-lain.

Daftar tunggu pasang baru yang relatif sangat lama.
Di daerah yang menggunakan PLTD terutama daerah kepulauan bagi calon pelanggan harus menunggu dalam waktu yang relatif lama bahkan hingga sampai lima tahun baru mendapatkan pemasangan baru. Alasan dari pihak PLN adalah kapasitas mesin yang ada tidak mampu mensuplai jika permintaan harus segera dipenuhi. Alasan lainnya adalah menunggu pemasangan mesin baru. Setelah terjadi pemasangan mesin baru hanya dalam beberapa bulan kemudian adanya alasan lain yaitu salah satu mesin terjadi kerusakan dan suku cadangnya hanya ada di luar negeri hingga bertahun-tahun mesin tersebut dibiarkan mangkrak. Segudang alasan diungkapkan untuk kemudian berakhir dengan salah satunya tidak menerima pemasangan baru sebelum semua calon pelanggan yang masuk daftar tunggu telah terpasang. Salah satu dampak dari tidak adanya/lamanya pemasangan baru di beberapa tempat sangat merugikan bisnis perumahan terutama RSS yang sebagian besar di minati oleh masyarakat kalangan bawah karena biasanya calon pembeli menanyakan fasilitas apa saja yang dijamin oleh pengembang dan kemudian jika ternyata tidak adanya sambungan listrik yang dijamin, peluang besar calon pembeli langsung putar haluan seratus delapan puluh drajad alias melakukan pembatalan.

Pencurian strum yang dilegalkan.
Dalam ketentuan apabila rumah tidak memiliki jaringan listrik dan kemudian menarik jaringan dari rumah lain maka tergolong pelanggaran atau kasarnya melakukan pencurian strum atau mungkin ada istilah lain yang lebih halus, tetapi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilegal yang dapat dikenakan sanksi hukum. Tentunya sangat logis jika peraturan itu diterapkan karena dengan pertimbangan jaringan liar sangat membahayakan atau rentan terjadinya kecelakaan karena pemasangan yang tidak memenuhi standar. Kerugian lainnya antara lain PT PLN dapat mengalami kerugian yang disebabkan rumah yang mengambil arus/strum dari rumah lain berarti PT PLN akan kehilangan beberapa komponen dalam perhitungan biaya-biaya yang harus dibayar oleh pelanggan seperti biaya beban bulanan dan biaya pemasangan baru.
Ketentuan di atas di beberapa daerah secara otomatis tidak berlaku jika PT PLN ternyata tidak melayani pemasangan baru atau lamban memenuhi pemasangan baru, karena ketentuan tersebut berlaku apabila PT PLN dapat memberikan pelayanan prima dalam memenuhi kebutuhan calon pelanggan. Dengan demikian kasus tersebut tidak ubahnya telah melegalkan pencurian strum/arus listrik. Apakah ini suatu keuntungan bagi PT PLN atau kerugian? Sedangkan bagi calon pelanggan sudah dapat dipastikan merupakan suatu kerugian karena belum dapat menikmati sepenuhnya penggunaan fasilitas listrik karena beberapa hal seperti: 1. Keterbatasan pemanfaatan listrik karena harus berbagi dengan rumah lain. 2. Berpeluang terjadinya konflik antara pemilik meteran dan penumpang dalam hal pembayaran, artinya akan menambah beban RT dan RW dalam mendamaikan konflik di lingkungannya. 3. Kemungkinan terjadinya alat-alat yang menggunakan energi listrik sebagai sumber energinya seperti barang elektronik akibat terjadinya penggunaan listrik melebihi kapasitas yang terpasang yang berakibat putus skring pada meteran atau saklar meteran (MCB) kembali ke angka nol, dan masih banyak kemungkinan kerugian lain yang belum terungkap.

Adanya oknum PT PLN yang melakukan bisnis diluar kontrol.
Daya listrik yang didistribusi ke pelanggan dikendalikan melalui meteran dengan pemasangan saklar yang berfungsi sebagai skring/MCB. Daya yang disuplai tergantung dari nilai satuan arus (Amperre) pada MCB. Pemasangan MCB menggunakan segel khusus yang hanya di miliki oleh PT PLN. Apabila pelanggan menginginkan perubahan daya lsitrik, maka pelanggan secara resmi mengajukan permohonan ke PT PLN. Perubahan daya berpengaruh terhadap nilai pembayaran karena adanya perubahan komponen pembayaran seperti biaya beban dan sebagainya.
Pada prakteknya, tidak sedikit oknum PLN yang melayani perubahan daya diluar kontrol PT PLN. Bagi PT PLN sendiri sudah pasti dirugikan karena ini dapat dikategorikan pencurian strum. Kemungkinan kerugian juga dapat dirasakan oleh pelanggan lain karena kemampuan trafo pembangkit pada gardu terbatas sehingga memungkinkan daya yang masuk tidak memenuhi standar tegangan apalagi sampai di bawah batas toleransi, dapat berakibat mengganggu system pada berbagai peralatan yang menggunakan sumber energi listrik. Kemungkinan kerugian lain adalah bagi calon pelanggan karena tidak ada pemasangan baru karena alasan kapasitas mesin pembangkit sudah maksimal.
Uraian permasalahan di atas merupakan pekerjaan rumah bagi PT PLN dan Pemerintah guna mencari solusi terbaik dalam memecahkan masalah krisis listrik di Indonesia. Bagi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tulisan ini merupakan bentuk pengaduan, dan diharapkan YLKI dapat membantu konsumen agar tidak dirugikan akibat praktek monopoli yang dilakukan oleh PT PLN. Salah satu solusi yang ditawarkan agar PT PLN lebih hati-hati dalam melakukan pemadaman adalah sebaiknya pemberlakukan biaya beban tidak menggunakan perhitungan konstan, tetapi harus dihitung berdasarkan faktor koreksi pemadaman. Ilustrasi sederhananya sebagai berikut :
Misalkan biaya beban sebesar Rp. 30.000,00 maka rata-rata biaya beban perhari adalah Rp.1000,00. Jika pemadaman terjadi di satu wilayah selama batas waktu tertentu (misal : 2 atau 3 jam/hari atau tergantung kesepakatan) maka biaya beban harus dikurangi, senilai Rp. 1000,-/hari, dengan demikian PT PLN jelas akan meningkatkan kinerjanya atau akan berusaha untuk tidak melakukan pemadaman, atau menggunakan rumusan lain yang sekiranya tidak merugikan kedua belah pihak dan dapat meningkatkan kinerja PT PLN.