Translate

Senin, 03 Agustus 2009

REVITALISASI PUSKESMAS

Oleh : Agus Supeno

Pada tahun 2004, Menteri Kesehatan telah menerbitkan SK Menkes Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 yang dalam pendahuluan telah mengidentifikasi berbagai masalah pelaksanaan Puskesmas dari sejak awal berdirinya Puskesmas pada tahun 1968 hingga tahun 2004 ketika implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah mulai menyeluruh dilaksanakan di seluruh Indonesia. Adapun masalah yang dihadapi sesuai termaktub dalam pendahuluan (Depkes, 2004) antara lain :

1.Visi, misi dan fungsi Puskesmas belum dirumuskan secara jelas, sehingga pelaksanaan program Puskesmas dan keterkaitannya dengan program pembangunan kesehatan secara keseluruhan belum optimal.
2.Beban kerja Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kurang berjalan. Kedua, karenan DInas Kesehatan Kabupaten/Kota yang sebenarnya bertanggungjawab penuh terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan secara menyeluruh di wilayah kabupaten/kota lebih banyak melaksanakan tugas-tugas administrative.
3.Sistem manajemen Puskesmas yakni Perencanaan (P1) yang diselenggarakan melalui mekanisme Perencanaan Mikro (micro planning) yang kemudian menjadi Perencanaan tingkat Puskesmas, penggerakan pelaksanaan (P2) yang diselenggarakan melalui Lokakarya Mini serta pengawasan, pengendalian dan penilaian (P3) yang diselenggarakan melalui mekanisme Stratifikasi Puskesmas yang kemudian menjadi Penilaian Kinerja Puskesmas, dengan berlakunya prinsip otonomi perlu disesuaikan.
4.Pengelolaan kegiatan Puskesmas, meskipun telah ditetapkan merupakan aparat daerah tetapi masih terlalu bersifat sentralsitik. Puskesmas dan daerah tidak memiliki keleluasaan menetapkan kebijakan program yang sesuai dengan kebutuhan masayarakat setempat, yang tentu saja dinilai tidak sesuai lagi dengan era desentralisasi.
5.Kegiatan yang dilaksanakan Puskesmas kurang berorientasi pada masalah dan kebutuhan kesehatan masyarakat setempat. Selama ini setiap Puskesmas dimanapun berada menyelenggarakan upaya kesehatan yang sama.
6.Keterlibatan masyarakat yang merupakan andalan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tingkat pertama belum dikembangkan secara optimal. Sampai saat ini Puskesmas kurang berhasil menumbuhkan inisiatif dan rasa memiliki serta belum mampu mendorong kontribusi sumber daya dari masyarakat dalam penyelenggaraan upaya Puskesmas.
7.Sistem pembiayaan Puskesmas belum mengantisipasi arah perkembangan ke depan, yakni system pembiayaan pra-upaya untuk pelayanan kesehatan perorangan.

Hasil identifikasi masalah tersebut yang sebenarnya timbul dari fakta dilapangan dari sebelum otonomi daerah hingga pelaksanaan otonomi daerah yang juga merupakan prediksi sebagai akibat adanya kekhawatiran dampak negative otonomi daerah dalam pengembangan Puskesmas ke depan. Terlepas terbukti atau tidak, maka pada era desentralisasi sekarang ini untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal di Puskesmas baik pelayanan gedung dan pelayanan diluar gedung, sangat dibutuhkan komitmen pemerintah daerah secara komprehensif dan sinergis dalam mengambil kebijakan di bidang kesehatan.

Komitmen Komprehensif

Peranan eksekutif dan legislative dalam era otonomi daerah relative luas jika dibandingkan dengan era sebelum otonomi daerah. Peranan luas ini bisa menjadi paradoks dari apa yang sudah dibangun sebelumnya. Ruang keputusan (Decision Space) semakin lebar justru dapat untuk memutuskan hal-hal yang lebih bersifat unrasional.Oleh sebab itu perlu adanya komitmen komprehensif oleh pemerintah daerah yang harus dibangun antara lain :

1. Profesionalisme dan kompetensi sebagai pertimbangan wajib dalam penempatan SDM di Dinas Kesehatan (Fit and Proper Test oleh lembaga independent adalah jawaban yang paling rasional) mengingat bahwa Bab II Keputusan Menkes No 128/Menkes/SK/II/2004, Konsep dasar puskesmas (Depkes, 2004) menyebutkan Puskesmas hanya bertanggungjawab untuk sebagian upaya pembangunan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, sehingga pengaruh dinas kesehatan sangat kuat terhadap operasional UPTD Puskesmas.
2. Pemerintah daerah harus menempatkan SDM di Puskesmas secara proporsional berdasarakan pertimbangan kebutuhan tenaga kesehatan minimal (akan lebih mudah apabila stratifikasi benar-benar dilaksanakan), sehingga kemungkinan terjadinya kekurangan tenaga sebagai akibat distribusi yang terkonsentrasi pada wilayah tertentu karena adanya kemudahan mutasi dikarenakan pertimbangan asal petugas.
3. Pemerintah daerah/pusat (BKD/BKN) harus mempertimbangkan dalam penempatan jabatan structural baik di dinas maupun di puskesmas tidak diisi oleh tenaga fungsional, karena akan memperuncing konflik yang disebabkan adanya kecemburuan dari sisi kepangkatan dan kesempatan. Secara umum tenaga fungsional jenjang kepangkatan lebih tinggi dari tenaga kesehatan yang nonfungsional dan structural, sehingga peluang karir tenaga nonfungsional semakin tertutup seperti panggang jauh dari api.
4. Punishment yang tegas dalam system kepegawaian karena pada dasarnya jumlah tenaga kesehatan semakin meningkat jumlahnya dan terjadi antrian panjang. Hal ini akan lebih mudah dan lebih efektif jika menggunakan tenaga kontrak terutama dalam pemberhentian ataupun perekrutan sehingga terjadi persaingan yang lebih kompetitif, karena apabila petugas tidak bekerja secara optimal, pemerintah dapat dengan mudah mengganti dengan tenaga yang lebih produktif.

Apabila komitmen ini dapat diterapkan, maka untuk pelaksanaan revitalisasi Puskesmas dapat berjalan dengan lancar. Secara umum pemerintah baik pusat maupun daerah telah mengucurkan dana yang cukup besar dalam pemenuhan fasilitas dan infra struktur yang memadai.

Komitmen pemenuhan anggaran kesehatan secara politik sangat menguntungkan baik bagi masyarakat ataupun stakeholder (jabatan politik) karena memiliki nilai promotif dalam upaya melanggengkan kekuasaan. Akan tetapi yang sulit disadari, bahwa kemampuan SDM perencanaan memiliki pengaruh besar dalam penggunaan anggaran secara efektif dan efisien, hal ini di dukung hasil penelitian yang membuktikan bahwa lemahnya kemampuan sebagian petugas kesehatan dalam berbagai aspek proses perencanaan khususnya pada kabupaten/kota merupakan salah satu kendala dalam implementasi desentralisasi di bidang kesehatan (Bakri, 2001). Demikian juga penelitian Sukarna dan kawan-kawan (2006) di Dinas Kesehatan Kabupaten Muna dalam kesimpulannya juga mengatakan bahwa dinas kesehatan tidak mampu mengalokasikan anggaran sesuai kebutuhan disebabkan SDM perencana belum memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk mengalokasikan anggaran.

Pada dasarnya kebijakan dasar Puskesmas yang tertuang dalam SK Menkes Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 adalah sesuatu yang sangat ideal, ini dapat terwujud jika semua pemerintah daerah memiliki komitmen bersama untuk membatasi intervensi politik dalam upaya pembangunan bidang kesehatan.

Daftar Pustaka

Bakri, H. (2001) Penguatan Sistem Perencanaan di Kabupaten/Kota [File Komputer]

Sukarna, L.A., Budiningsih,N., dan Riyarto Sigit (2006). Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan dalam Mengalokasikan Anggaran Kesehatan pada Era Desentralisasi. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, vol.9 (1) Maret, halaman 10-18.

Departemen Kesehatan RI. (2004) Keputusan Menkes RI Nomor: 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. (2002a) ARRIME Pedoman Manajemen Puskesmas. Jakarta.

Tidak ada komentar: